TENTANG ROTE
Kepulauan Rote, juga disebut Pulau Roti, adalah sebuah pulau di
Provinsi Nusa Tenggara Timur, Indonesia. Rote merupakan wilayah paling
selatan Indonesia. Pulau ini terkenal dengan kekhasan budidaya lontar, wisata alam pantai, musik sasando, dan topi adat Ti’i Langga. Rote
berstatus sebagai kabupaten dengan nama Kabupaten Rote Ndao melalui
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2002
Kepulauan
Kepulauan Rote terdiri atas 96
pulau, 6 di antaranya berpenghuni. Wilayah ini beriklim kering yang dipengaruhi
angin muson dan musim hujan relatif pendek (3-4
bulan). Bagian utara dan selatan berupa pantai dengan dataran rendah, sementara
bagian tengah merupakan lembah dan perbukitan. pulau ini dapat dikelilingi
dalam jangka waktu yang relatif singkat.
Transportasi
Dari Kupang, ibu kota Nusa Tenggara Timur,
daerah ini bisa dicapai dengan angkutan laut maupun pesawat terbang. Lalu
lintas barang dan jasa umumnya mengandalkan kapal feri yang setiap hari melayani rute
Kupang-Baa sekitar
empat jam. Rute lain, seperti Makassar danSurabaya, dilayani oleh perahu dan kapal motor
dari pelabuhan rakyat (Pelra),
seperti Papela (Rote Timur), Oelaba (Rote
Barat Laut),Batutua (Rote
Barat Daya), dan Ndao (Pulau Ndao). Jalur udara sampai sekarang hanya
seminggu sekali.
Sejarah
Raja Bilba dan
permaisuri (masa Hindia Belanda)
Pertanian
Pertanian menjadi sumber ekonomi Rote
Ndao yang nilai keseluruhannya Rp 213,2 miliar pada tahun 2002. Peran tanaman
pangan 18,22% dari total pertanian yang menyumbang setengah kegiatan ekonomi,
sementara peternakan 17,48% dan perikanan 12,22%. Dari 53.986 orang usia 15
tahun ke atas yang bekerja, mereka yang berkegiatan di pertanian tanaman pangan
paling tinggi (62,46%) — terutama di Lobalain dan Rote Barat Laut — sedangkan
perikanan meyumbang 5,74% dan peternakan 2,14%.
Luas lahan sekitar 53.797 hektare,
13.000 di antaranya sawah irigasi untuk padi gogo rancah. Produksi per hektar
4-5 ton atau rata-rata 23.697 ton per tahun. Di luar padi, tanaman yang cukup
penting nilainya adalah kacang tanah biji besar yang berkadar kolesterol
rendah, bawang merah, semangka, lombok, jagung, dan sorgum. Sebagian besar
dihasilkan di Rote Barat Daya, Barat Laut, Timur, dan Pantai Baru.
Komoditas lain
Komoditas lain yang terkenal adalah
lontar, kelapa, dan jambu mete. Dengan lahan sekitar 82.000 ha,
dihasilkan gula rata-rata 200 ton per tahun. Penduduk biasanya mengolah nira
lontar menjadi gula lempeng, gula semut, gula air, dan sopi. Sopiadalah
minuman khas Rote Ndao yang merupakan fermentasi nira dan mengandung alkohol
tinggi. Jika diolah lebih lanjut, hasilnya bisa dipakai alkohol medik.
Peternakan
Di balik keterpencilannya, Rote
memiliki lahan penggembalaan ternak. Sampai sekarang padang penggembalaan yang
dimanfaatkan 20.512 ha atau sekitar 16% dari luas wilayah. Ini belum termasuk
40.000-an ha lahan tidur yang bisa dipakai untuk kegiatan itu. Sebagian besar
merupakan padang rumput alam, terutama jenis andropogon, sedang pada lahan tidur merupakan
rumput alam dan lahan kering dengan vegetasi semak belukar.
Sapi, kerbau, dan kuda banyak
diternakkan di Rote Timur, Tengah, dan Barat Laut. Adapun kambing, domba, babi,
dan unggas-ayam dan itik- lebih merata di seluruh kecamatan. Sampai tahun lalu,
populasi sapi 19.277 ekor, kerbau 10.524 ekor, dan kuda 4.095 ekor. Ketiganya
menjadi komoditas yang dijual ke Jakarta dan Makassar melalui Kupang. Hingga
Februari 2004, "ekspor" sapi potong 1.336 ekor, kerbau 1.000 ekor,
dan kuda 350 ekor. Untuk pasar Jawa, kuda diperlukan untuk hewan penarik,
sedang di Makassar sebagai kuda beban di daerah yang belum terjangkau
transportasi darat.
Beternak merupakan tradisi orang
Rote sejak dulu. Sistem pemeliharaan pun masih tradisional, dilepas bebas di
alam terbuka dan dikandangkan kalau ada keperluan. Sebagai daerah peternakan,
keperluan daging pasar lokal sudah terpenuhi. Sebelum lepas dari kabupaten
induk, daerah ini merupakan penghasil tingkat provinsi.
Komoditas ternak rupanya mengalami
sejumlah masalah. Selain pola pemeliharaan, kondisi alam membuat suplai pakan
dan air pada musim kemarau menurun. Umumnya sungai ada di bagian yang rendah.
Debit air di musim kemarau amat kecil, bahkan banyak yang kering karena daerah
tangkapan air (hulu) sungai tidak berhutan. Kendala lainnya adalah kerugian
akibat wabah penyakit hewan seperti septihemia
epizootica (SE) yang menyerang sapi dan kerbau dan hog cholera
pada babi. Dikarenakan banyak jalan yang belum diaspal, biaya transportasi dari
kecamatan ke pelabuhan menjadi tinggi. Di sisi lain, angkutan laut (untuk
ternak) ke Kupang hanya mengandalkan feri. Selain
itu, pencurian, modal peternak yang terbatas, dan ancaman rumput belalang serta
acasia nilotika (yang mematikan rumput alam) juga menjapada masalah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar